“Di dunia ini yang tidak bisa diubah cuma Al-Quran, Re.”

Katanya di sela-sela jawaban. Saya tertawa. Tak ada jeda yang lebih baik ketimbang sayatan sarkasme.

Sekian belas menit saya mengisahkan masalah, cukup untuk mendinginkan pisang goreng di meja samping. Setelah beberapa kepalan tangan, dua tegukan cangkir dan sejumput pengap angin malam, cerita saya bertemu ragam tanya di simpang jalan.

Pintar. Cantik. Muslimah. Bukankah itu ajaran Rasulullah?

Jika beralasan untuk ibadah, bukankah semua menjadi baik?

Bukankah ada saatnya saya yang paling mengerti masalah saya sendiri?

Namun, kami tahu. Ada satu tanya tak terucap, tapi berbisik paling kencang. Mengusir awan penghujan, menjatuhkan dedaunan.

Bolehkah saya melawan ibu?

Ia, seorang santun yang ternyata begitu hormat pada ibu, tersenyum.

“Menurut saya, Re, lancarnya jalan saya selama ini karena hormat pada Ibu.” Ujarnya membuka layar malam.

Kemudian ia membawa masa lalu ke teras belakang rumahnya. Di hadapan saya dan sepi, sosok sang ibu hadir dalam beragam dimensi. Seorang ibu yang menghidupi empat anak seorang diri. Ibu yang terlalu awal mengenalkan arti berjuang. Juga ibu yang keras pada pendirian.

Di kalimat terakhir, kami menemukan benang merah. Saya gunakan untuk menyulam pembenaran. Ia jalin untuk menambal tanya tak terucap saya yang berlubang pembangkangan disana-sini.

Bisakah hati manusia berubah?

Saya berdehem. Mengurut kening. Mengatur ulang posisi kursi. Meneguk jus. Menakar porsi jeruk dan mangga di pangkal lidah. Apapun untuk menghilangkan bayang-bayang ibunya dari muka. Juga mata teduh ibu saya yang tiba-tiba hadir.

“Berapa lama?” Entah suara siapa yang keluar dari mulut.

“Memang butuh waktu, Re.” Jawabnya.

Ia menerawang, memilah episode kenangan, menceritakan kisah cintanya sendiri. Tentang ibu yang begitu pemilih dan sulit menyetujui wanita yang ingin ia nikahi. Sampai suatu ketika,

“Calon istri saya ajak ke rumah. Saya tinggalkan mereka berdua untuk mengakrabkan diri.” Senyumnya pada spasi kosong di belakang punggung saya.

Beberapa saat, tak ada suara di udara. Cahaya neon kekuningan mengisi kursi kosong di sisi, juga hinggap di sepotong wajah kawan saya. Sesaat, tangannya menutup mulut yang menguap. Badannya rebah, mata itu dikalahkan lelah.

Entah dari kantuk atau redup nostalgia.

“Ada lagi yang bisa mengubah hati ibu.” Saya menggali ingatan. Peluru terakhir.

Ia tersenyum, nampak mengerti.

**

“Who is the biggest thief in the world?”

Kepala menunduk, berubah tegak. Tangan memainkan kuku kaki, kini membeku. Gerah musim panas yang terkurung di musholla kampus, jadi terlupakan. Pertanyaan sang khatib mengembalikan perhatian puluhan jamaah sholat Jumat. Juga saya.

“Someone steals from the poor people. Others rob the bank. But, my brothers,” suaranya naik turun, senyumnya menyapu shaf yang rapat, “who is the biggest thief in the world?”

Ia mengambil napas. Hening. Dua detik terpanjang dalam hidup saya seminggu itu.

“The biggest thief is someone who doesn’t pray properly. Someone whose mind is in other places while he is doing sujud. The biggest thievery, my brothers, is stealing from Allah.”

Lantangnya sambil menunjuk-nunjuk langit. Saya mendongak.

**

“Doa. Seorang kawan pernah berkata, sebutkan namanya dalam doa.” Lanjut saya, mengembalikan panggung.

Doa untuk alasan baik, fokus dan spesifik. Ada yang kurang?

“Doa saya berbeda, Re.”

“Maksudnya?”

“Saya selalu minta diberikan jalan terbaik.”

Setelah sang ibu dan calon istri, kini dirinya sendiri yang singgah di hadapan. Saat ia di masa lalu yang mendapat dua pilihan pekerjaan. Sholat malam dan basuhan wudhu hanya demi satu pinta serupa: tunjukkan jalan terbaik. Terus-menerus sampai petunjuk itu muncul. Berwujud mimpi.

“Bisa jadi apa yang menurut saya baik ternyata tidak untuk Allah kan, Re.”

Senyum berkawan mata lelah itu masih disana.

Saya menghembuskan napas. Panjang. Juga membayangkan panjangnya waktu di depan nanti.

“Memang butuh waktu, ya.” Saya berkata ke diri sendiri dan sepi. Kawan saya tidak membantah. Bayangan saya pergi, sinar neon tak bisa mengeluarkannya dari badan kursi. Belum pernah saya merasa seorang diri seperti malam itu.

“Selamat berjuang, Re.” Tutupnya.