Batubara barang Tuhan, harus bagi rata.

Saya terbangun dalam gelap ketika mengingat lagi ucapan itu, keluar dari mulut seorang pejabat pemerintah daerah. Saya mengunjungi kantornya dua hari lalu. Bangunan lawas, lorong panjang, sedikit remang, yang mengingatkan saya pada kantor-kantor pemerintah di Timor-Leste.

Namun saat ini, saya sedang berada di sebuah desa di Kabupaten Lahat.

Di pelosok Sumatera Selatan ini, batubara memang jadi primadona. Desa ini diapit empat perusahaan tambang raksasa yang sehari-hari mengeruk emas hitam dari perut bumi. Saban hari, truk mengangkut bongkahan batubara melalui jalan khusus angkutan batubara. Menyemut selepas sore menuju kabupaten tetangga, Muara Enim.

Truk itu melanjutkan cerita hingga ke pelabuhan khusus batubara di PALI. Emas hitam lantas diangkut kapal tongkang, mengarungi Sungai Musi yang panjang bukan kepalang. Kapal bersauh menuju Palembang, menyapa Jembatan Ampera barang sebentar, lalu mengelana ke pulau seberang. Demi menghidupi PLTU pemakan batubara seantero negeri.

Beberapa bulan lalu, saat angin timur masih berjaya dan menghadirkan kemarau di atas kepala, saya berkesempatan mengunjungi sebuah PLTU di ujung selatan Pulau Jawa. Cerobongnya tinggi, asapnya menari. Dari dermaga, terlihat antrian kapal tongkang mengular hingga horizon. Mereka menunggu giliran bongkar muatan, hingga batubara dipindahkan ke coal storage. Kapal itu ada yang dari Kalimantan, ada dari Sumatera. Mungkin salah satunya berangkat dari Lahat.

Selain menyisir riak Sungai Musi, cara mobilisasi batubara kedua adalah memakai kereta. Dari Lahat, kereta Babaranjang mengangkut batubara ke Stasiun Tarahan di Lampung. Tidak seperti kereta Jakarta yang hilir mudik, rel-rel yang memotong jalanan Lahat cukup hening. Tapi usah ditanya. Sekali melintas, bisa makan waktu bermenit-menit dengan pemandangan lokomotif menarik puluhan gerbong batubara.

Saya cukup beruntung bisa “masuk” ke lokasi tambang kemarin sore. Melihat langsung barisan dump truck kuning di jalanan berdebu penusuk hidung. Lokasinya berbukit, jalanannya berkelok seperti pita kaset yang dibiarkan terjuntai di lantai.

Stasiun kereta batubara letaknya persis di sebelah lokasi tambang. Enak betul. Dengan sistem dan perputaran uang serapi ini, apa yang terjadi jika ada pihak luar yang menyerukan pengurangan batubara demi mengurangi emisi dunia?

Memikirkan itu semua membuat kepala pening dan mengingatkan saya pada gelap di depan mata. Jam setengah empat pagi, saya terbangun dalam gelap. Lucunya, PLTU hanya selemparan batu. Kenapa bisa random mati lampu?

Seperti batubara, listrik PLTU juga kepunyaan Tuhan.

Harus bagi rata.