Momoye, yang tidak lain merupakan si tokoh utama, diambil dari nama panggung seorang penyanyi yang terkenal di Jepang pada masa itu. Sedangkan Jugun Ianfu adalah istilah lain dari perempuan penghibur, itu pun setelah dihaluskan. Jika saya memberi sedikit kata kunci tentang latar kisah ini yang berlangsung pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, sudah bisa terbayang bukan betapa menyeramkannya saat saya membaca biografi ini, kalimat demi kalimat?

gambar: openlibrary.org

gambar: openlibrary.org

Nama aslinya adalah Mardiyem. Anak bungsu empat bersaudara, yang kesemuanya perempuan, dari seorang abdi dalem Pekatik seorang bangsawan di Yogyakarta. Sang ibu meninggal saat Mardiyem masih berusia tujuh bulan. Belum lagi jarak usia yang terlampau jauh dengan ketiga kakaknya, membuat Mardiyem menjadi lebih dekat dengan sosok ayahnya yang penyabar. Alur kisah mulai bisa diraba ketika ayah Mardiyem meninggal, yaitu saat usianya menginjak sepuluh tahun. Dari sini, kita, setidaknya saya, mulai merasakan perubahan psikologis si tokoh utama, yang mungkin juga semua anak pada masa penjajahan seperti itu, yaitu terlalu cepat menjadi dewasa.

Seperti Mardiyem yang mulai mencari kerja dan jati diri. Dimulai dari menjadi pembantu di rumah-rumah bangsawan, atau mulai mencintai bernyanyi, atau sampai ditipu pergi ke Borneo guna mengejar mimpinya itu. Di Borneo lah, di Telawang lebih tepat, terjadi potongan memori menyeramkan yang tidak mungkin dilupakan Mardiyem di sepanjang sisa hidupnya.

Dikisahkan terdapat 21 orang Jugun Ianfu Asrama Telawang di angkatan pertama, termasuk penghuni kamar nomor 11 yaitu Mardiyem dengan nama Jepang Momoye. Mereka kebanyakan berasal dari Pulau Jawa yang ditipu pergi ke Borneo untuk mengejar cita-cita, seperti penyanyi atau pemain sandiwara. Mereka dipaksa untuk menjadi wanita penghibur tentara Jepang, yang datang saban hari tidak kenal waktu, dan tentu saja berkarakter kasar. Mulai titik ini, halaman demi halaman saya balik dengan tarikan napas berat.

Pada akhirnya, seperti harapan kita semua pada buku ini, diceritakan keberhasilan kebebasan mereka, yang hanya menjadi beberapa karena ada yang meninggal akibat penyakit kelamin sebagai buntut dari kekalahan Jepang di Indonesia. Kisah selesai? Tidak bagi psikologis mereka. Seperti Mardiyem yang memilih menikah dengan lelaki uzur karena sudah tidak memiliki rasa dalam berhubungan badan. Atau bagaimana perubahan reaksi tetangga ketika masa lalu Jugun Ianfu Mardiyem kembali dikuak, lebih dari 40 tahun kemudian.

Momoye: Mereka Memanggilku ditulis dengan gaya reportase pada pembukaan dan penutup buku, didominasi dengan biografi di antara keduanya. Penulisan dari pandangan orang pertama dengan gaya bahasa membumi. Aspek ini penting agar kita lebih merasakan emosi Mardiyem, lengkap dengan beberapa kosakata bahasa Jawa yang menyertainya. Ukuran buku yang kecil memudahkannya untuk dibawa pergi guna membunuh menit yang terbuang karena kemacetan jalan. Asal harus cermat saja memilih waktu membaca kalau tidak ingin nafsu makan mendadak hilang.

Pada akhirnya, buku ini menyajikan sejarah, dan saya belajar di dalamnya. Mungkin tipe penulisan orang pertama seperti ini memang dapat menjadikan sejarah tidak membosankan untuk dibaca. Seperti fakta mengerikan yang terpapar di akhir buku: Jugun Ianfu diduga merupakan program sistematis pemerintah Jepang saat itu untuk mengakomodasi tentaranya di medan perang. Dan masih ada lagi, terbukti pemerintah Jepang memalsukan buku sekolah sejarah dengan tidak memasukkan fakta Jugun Ianfu yang memalukan ini. Bukankah sudah saya tuliskan sebelumnya jika sangat mengerikan membaca buku ini?

Para Jugun Ianfu di seluruh Asia masih mencari keadilan melalui lembaga dan pengadilan perempuan internasional, sampai saat ini.

##

Tulisan ini dibuat sebagai syarat pemenang kompetisi menulis 2012 End of Year Book Contest yang diadakan oleh blog Mbak Oky. Terimakasih untuk hadiah buku yang menggebrak ini Mbak Oky dan Penerbit Esensi. Sukses 🙂