Sampai kapan pun, wartawan adalah salah satu profesi yang saya kagumi. Cerdas, gesit, independent, update, dan pandai meramu kata. Sampai suatu ketika saya membaca buku Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk. Thomas, tokoh utama, seorang penasihat keuangan, dikisahkan ingin mempengaruhi beberapa keputusan penting skala nasional. Dia menggunakan segala macam cara untuk mempengaruhi si pengambil keputusan. Termasuk wartawan dan pemimpin media cetak, yang ‘digunakannya’ untuk menggiring opini publik.

Sampai disini, sejenak halaman novel terhenti. Pertanyaan retoris mendadak terlintas, seperti itukah kenyataannya?

Kadang ada suatu titik dimana kita berhenti kebingungan. Menyadari bahwa ada beberapa anggapan, yang terlanjur melekat erat di kepala, yang ternyata tidak se-hitam putih itu keadaannya. Titik itu tidak perlu rumit, cukup sesederhana satu-dua paragraf. Memang harus sederhana, sebab justru dari sana bisa merubah paradigma.

Di sini, saat ini, saya juga seperti mengenal kembali definisi rumah. Seharusnya saya sadar sejak pertama kali duduk di bangku kuliah, menjadi seorang geophysicist berarti merelakan waktu keluarga yang ikut terkikis. Sekian bulan di lapangan, dibalas sekian minggu waktu off. Rumah menjadi barang mewah.

Jika Agustinus Wibowo boleh mengartikan perjalanan sebagai bukan mengunjungi tempat baru, melainkan melihat dengan pandangan yang baru. Maka saya akan melakukan hal yang sama. Rumah tidak selamanya berarti kampung halaman, namun bisa dimana saja asal kita merasa pulang.

Satu orang, seorang rapi yang supel. Kecewa di suatu sore saat tahu akan diextend, karena si karyawan pengganti mendadak terkena masalah. Dia mengeluh, tapi tidak lama, berusaha tetap santai. Namun wajah kosong dan mulut yang membisu itu tidak bisa berbohong. Setelah itu, beberapa kali menu makannya hanya nasi putih dengan telor dadar berkecap.

Satu orang, seorang bebas yang mengekspresikan emosi dengan umpatan dan kepulan rokok. Berkali-kali kecewa dengan aturan perusahaan. Curhat panjang di suatu siang, dia ingin cepat pulang karena kangen rumah, lengkap dengan asap rokok yang mengelilinginya. Ya, saya bisa melihat ekspresi itu saat dia menelepon ibunya, setelahnya di malam-malam yang dingin. Itu ekspresi lega, meski hanya tampak sekilas.

Satu orang, seorang biasa yang rela dibayar murah untuk pekerjaan yang tidak pernah diimpikannya. Kecewa dengan perlakuan perusahaan, meski itu hanya tergurat di wajah. Beberapa obrolan singkat, dia ingin pulang karena disuruh orangtua. Sampai di suatu penghujung malam, dengan selimut menutupi kepala, dan lampu jalan yang memaksa menembus jendela, saya mendapatinya berbaring sambil terisak pelan. Dengan tangan yang berusaha menyembunyikan ponsel di telinga.

Mereka mendapatkan jalan rumahnya masing-masing. Dengan telor dadar kecap, atau mendengar suara ibu di ujung telepon, atau air mata di malam yang larut. Mereka tidak perlu mencari rumah, setidaknya belum. Mereka hanya perlu cara untuk merasa pulang.

Dan saya banyak belajar dari mereka. Jujur, sekarang saya lebih menghargai sholat subuh berjamaah, hal sederhana yang kerap saya sia-siakan di rumah. Entah apakah ini cara saya untuk merasakan pulang. Ada rasa sesak yang berbeda ketika saya mengambil air wudhu untuk subuh, pun saat masuk ke musholla yang jarang ramai itu. Saya teringat perasaan khusyuk itu. Rasanya seperti di masjid dekat rumah, khusyuk yang teramat sangat karena dunia sedang terlelap. Subuh berjamaah juga mengingatkan saya pada Bapak, pria berkalung sajadah yang rela menembus dingin untuk subuh berjamaah di masjid. Ah, saya kangen Bapak dan Ibu.

Baiklah, subuh berjamaah memang cara bagi saya untuk merasa pulang.

Merasa pulang. Tipuan perasaan ini tentu ada batasnya. Entah kapan milik saya, tapi rasanya tidak akan lama. Doakan saja saya bisa lekas ke rumah. Pulang yang paripurna.