Kuat saat menghadapi tim besar, melempem di tangan klub papan tengah. Membuka musim dengan penuh optimisme, ditutup dengan susah payah untuk sekedar meraih zona Liga Champions di minggu-minggu terakhir. Kebijakan transfer hemat-namun-tetap-dipuji-fans, yang akhirnya menjadi kambing hitam di kegagalan akhir musim. Talenta muda bertebaran di lapangan, yang malah mendapat gelar di klub lain. Permainan cantik, dengan tanpa hasil.

Dari dulu, dan mungkin sampai kapan pun, Arsenal akan tetap menjadi anggota resmi The Big Four. Saat ini namanya sedikit panjang, The Big Four yang lama puasa gelar. Bahkan ini menjadi bahan lelucon tiada habisnya di jejaring sosial.

Sepakbola bagi kebanyakan menjadi sesederhana ini: menang atau kalah, bukan membosankan atau indah. Mari kita mainkan waktu sejenak, ke perempat final Liga Champions musim 2002/2003, di pertandingan leg kedua Valencia versus Inter Milan. Inter Milan, sebagai tim tamu yang hanya unggul satu gol, memilih bermain bertahan habis-habisan. Sah-sah saja, namun rentan terkena komentar subjektif. Termasuk oleh Rafael Benitez, pelatih Valencia kala itu. Benitez mengeluarkan kalimat yang menjadikan sepakbola tidak lagi sesederhana urusan skor: Malam ini bukan hanya Valencia, namun sepakbola yang kalah.

Dunia sepakbola beruntung memiliki Arsene Wenger. Di lapangan hijau dengan segala dinamikanya, dia tetap bertahan dengan permainan cepat nan cantik. Beberapa pakar menyebutnya sebagai, sepakbola menyerang yang rumit. Mencintai klub dengan permainannya adalah satu hal, tetap mendukung klub yang lama tidak memberikan gelar, dan bertahan menghadapi cibiran sekitar, adalah lain hal. Mencintai Arsenal berarti mencintai sepakbola. Diam-diam, sebenarnya saya salut dengan para fans Arsenal, sejak dulu.

Dan satu lagi yang Arsene Wenger ajarkan. Sepakbola adalah soal loyalitas. Saya yakin, sepakbola akan semakin menjadi sepakbola apabila dimainkan oleh tim yang sudah lama bermain bersama. Hal yang sama menjadi alasan kenapa saya bersyukur dengan penunjukan David Moyes sebagai pelatih MU. Karena sekiranya karakter Moyes sama dengan Sir Alex, membangun prestasi dengan dinasti. Tidak dengan nama-nama besar yang sempat kencang diberitakan, pelatih-pelatih yang doyan pindah klub atas nama mencari tantangan. Dan karena alasan yang sama pula saya awalnya menjagokan Chelsea menjadi juara Liga Inggris, karena Mourinho sempat membangun dinasti kecil disana.

Di saat The Special One itu butuh waktu lagi untuk menemukan sentuhan di Inggris, Wenger sudah menikmati hasil dinastinya. Bermain cantik dan tancap gas di awal musim. Melupakan kegagalan-kegagalan musim kemarin, sakit hati karena ditinggalkan pemain bintang, untuk tidak sekedar puas mengakhiri musim di zona Liga Champions. Meskipun kali ini mereka harus menebus mahal satu orang pemain, sang maestro assist Mesut Ozil, suatu yang di luar kebiasaan.

Terimakasih Arsenal untuk sudah mengingatkan kembali indahnya sepakbola. Entah apa yang akan kalian dapatkan di akhir musim, paling tidak kalian sudah memenangkan simpati banyak orang. Satu syarat, tetaplah menjadi Arsenal yang kita tahu.